Patrolicia com/provinsi NTT. Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) diminta memberikan klarifikasi dan mengakui secara jujur dan ‘jantan’ (gentelment, red) terkait kegagalan program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS), Budidaya Ikan Kerapu di Waekulambu serta kegagalan program/kegiatan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT lainnya.
Demikian permintaan Ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi Indonesia (Araksi) NTT, Alfred Baun dalam jumpa pers di bilangan Fatululi, Kota Kupang, Sabtu (3/6/21) terkait terkuaknya kegagalan program ‘hijau’ (pertanian, red) dan program ‘biru’ (kelautan dan perikanan, red) Gubernur NTT, VBL dalam 3 tahun terakhir.
“Araksi minta Gubernur Laiskodat untuk secara jujur dan ‘jantan’ mengklarifikasi berbagai kegagalan program/kegiatan Pemprov NTT seperti program TJPS, Kelor, budidaya ikan kerapu, porang dan kasus hilangnya APD senilai Rp 1,7 M serta kasus pengadaan beras JPS Covid-19 (sebagaimana temuan BPK RI, red) yang marak diberitakan media massa online akhir-akhir ini,” pinta Alfred.
Gubernur Laiskodat, lanjut Alfred, harus berani berbicara secara jujur. “Program Gubernur ini menghabiskan anggaran negara, uang rakyat hingga puluhan milyar rupiah. Kalau berhasil tunjukan dimana hasilnya? Siapa yang menikmatinya? Dimana lokasinya? Kalau memang gagal yach harus berani secara gentelmen mengakui bahwa gagal,” tandasnya.
Gubernur sebagai Kepala Daerah, kata Alfred, tidak boleh menghindar untuk memberikan klarifikasi. “Gubernur harus berbicara dan memberikan penjelasan kepada masyarakat. Kalau Pak Wagub tidak mau bicara pada pers, yach Pak Gub mesti bicara supaya masyarakat bisa dengar. Jangan dibiarkan berbagai opini bergelinding secara liar seperti ini,” tandasnya.
Alfred menyebut beberapa program kerja Gubernur Laiskodat yang perlu diklarifikasi, antara lain program kelor, sophia, budidaya ikan kerapu, TJPS, peternakan, dan porang. “Ini semua harus diklarifikasi oleh Gubernur. Jangan dibiarkan begitu saja sehingga membuat masyarakat makin bingung dan menduga-duga. Kalau Gubernur menjelaskan maka tidak timbul pertanyaan masyarakat. Termasuk saya juga tidak akan bertanya-tanya lagi,” kritiknya.
Selain itu, lanjut Alfred, Gubernur Laiskodat juga harus memberikan klarifikasi tentang mencuatnya beberapa kasus temuan BPK RI seperti hilangnya APD dan BHP di Dinas Kesehatan senilai Rp 1,7 M dan dugaan selisih harga/kelebihan pembayaran beras JPS Covid-19 senilai Rp 18 Milyar serta persoalan tanah RSUP Manulai II.
Terhadap penjelasan para Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Araksi memandang penjelasan-penjelasan itu justru menimbulkan opini liar. “Jangan hanya suruh kepala OPD yang bicara, buat makin tambah blunder dan menimbulkan berbagai spekulasi saja. Opini yang bergulir di masyarakat semakin liar,” kritiknya.
Menurut Alfred, penjelasan para Kepala OPD tidak subtantif. “Dinas pertanian hingga saat ini tidak menjelaskan kepada publik sudah sampai dimana progres penanaman kelor? Hasilnya seperti apa? Begitu pula dengan sophia, kerapu, TJPS, ternak dan porang. Sudah sejauhmana dampaknya terhadap perekonomian masyarakat? Gubernur kan menjanjikan pengentasan kemiskinan dengan program-program itu,” papar Alfred.
Menurutnya, pihaknya mengapresiasi pencanangan beberapa program Viktori – Joss diawal kepemimpinannya. “Kita mengapresiasi program pak gubernur yang awalnya itu luar biasa, tetapi menjelang 3 tahun terakhir mau mengawali tahun ke empat masa kepemimpinannya, kami memandang bahwa banyak program yang gagal. Tapi tidak ada penjelasan dari Pak Gub. Awal program menggebu-gebu tapi diakhir justru hilang-tenggelam. Belum jelaskan program yang gagal, sudah buat program baru yang nanti juga gagal,” ungkapnya.
Selain itu, kata Alfred, Gubernur Laiskodat juga harus menjelaskan secara jujur tentang hilangnya APD dan BHP senilai Rp 1,7 di Gudang Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil (KKPS) NTT. “Juga adanya kasus kelebihan pembanyaran sekitar Rp 18 M pada proyek Pengadaan Beras JPS Covid di Dinas Sosial (temuan BPK RI April 2021, red). Pak Gub jangan langsung copot Kadis tanpa beri penjelasan. Ini menimbulkan berbagai spekulasi dan opini di masyarakat,” kritiknya.
Seperti diberitakan sebelumnya, program budidaya 1 juta ekor ikan kerapu di Labuhan Kulambu, Ngada dinilai gagal. Karena proyek budidaya ikan dengan total anggaran senilai Rp 7,8 M tersebut dilepaskan seluruhnya ke dalam laut. Hanya sekitar 5.000 ekor yang dibudidaya di dalam keramba.
Padahal, sesuai rencana awal saat pengusulan kegiatan pada mekanisme Penggunaan Anggaran Mendahului Perubahan Anggara APBD NTT Tahun 2019, proyek tersebut merupakan proyek pemberdayaan masyarakat melalui budidaya ikan kerapu di dalam keramba. Hasil panen ikan tersebut hanya senilai Rp 78,6 persen atau hanya sekitar 1 persen dari nilai investasi.
Kegagalan yang serupa juga terjadi pada program TJPS. Dari total alokasi anggaran Biaya Tidak Terduga (BTT) tahun 2020 senilai Rp 25 M, hanya menghasilkan 412 ekor sapi. Padahal jika dana tersebut dibelikan bibit sapi seharga Rp 5 juta rupiah, maka akan menghasilkan sebanyak 5.000 ekor sapi.
Media juga memberitakan tentang kasus raibnya Alat Pelindung Diri (APD) dan Barang Habis Pakai (BHP) di gudang Farmasi Dinas Kesehatan NTT senilai Rp 1,7 M yang dibeli dari refocussing anggaran Covid-19 Tahun 2020 (Temuan BPK RI, red). Selain itu, BPK RI juga menemukan adanya selisih harga atau kelebihan pembayaran beras JPS Covid-19 sekitar Rp 18 M yang diadakan oleh PT. Flobamor. (rjb/tim)