Gegara Pembelian MTN Rp 50 Milyar, Fraksi PKB Minta Dirut Bank NTT Dinonaktifkan

1,064

 

PATROLICIA.COM KOTA KUPANG –  Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meminta para pemegang saham Bank NTT agar segera mengambil langkah (melalui Rapat Umum Pemegang Saham/RUPS, red) menonaktifkan Aleks Riwu Kaho dari jabatannya sebagai Dirut Bank NTT. Alasannya, Aleks Riwu Kaho dinilai terlibat langsung dalam pembelian Medium Term Notes (MTN) Rp 50 Milyar, yang merugikan Bank NTT sebesar Rp 60,5 Milyar.

Demikian pendapat Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD NTT melalui juru bicara Fraksi PKB, Johanes Rumat, dalam bentuk press realese yang diterima tim media ini via pesan WhatsApp/WA pada Kamis (25/11/2021).

“Untuk itu direkomendasikan (sebagaimana poin 2 rekomendasi BPK RI, red) agar mereka (Aleks Riwu Kaho, red) yang terlibat dalam pembelian MTN agar saat ini di-non aktifkan sementara dari jabatannya agar berkonsentrasi pada penyelesaian tunggakan MTN,” tulisnya.

Menurutnya, seturut rekomendasi BPK, Dewan Direksi Bank NTT seharusnya memberi sanksi kepada Aleks Riwu Kaho selalu Kepala Divisi Treasury Bank NTT (saat itu) yang terlibat langsung dalam pembelian MTN Rp 50 Milyar di PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP). Tetapi faktanya, rekomendasi BPK itu sama sekali tidak dijalankan.

“Boro-boro diberi sanksi, malah (Alex Riwu Kaho) yang terlibat langsung dalam pembelian MTN ini dinaikan jabatannya menjadi DIRUT bank NTT. Aneh dan miris kan?” kritiknya.

Anggota Komisi V DPRD NTT itu pun menegaskan, bahwa seharusnya Aleks Riwu Kaho turut dituntut mengganti kerugian Bank NTT Rp 60,5 Milyar tersebut, karena sejak awal tampak sekali ada “kesengajaan” untuk tidak menaati ketentuan tentang petunjuk pembelian surat berharga.

Rumat melanjutkan, sekiranya diawal penawaran MTN oleh issuer PT. SNP, Divisi Treasury melakukan kajian atau uji kelayakan/due diligence, memasukannya dalam RBB (Rencana Bisnis Bank), memiliki pedoman tata cara pembelian surat berharga, melakukan pemeriksaan atas rating atau peringkat surat berharga PT. SNP, dan tidak memutuskan secara sepihak pembelian MTN tersebut, sebaliknya secara berjenjang meminta persetujuan Dirut (saat itu, red) untuk mempertimbangkan untuk membeli atau tidak, maka tentu tawaran tersebut ditolak karena jelas-jelas tidak feasible alias tidak  memenuhi syarat.

“Namun ‘nasi sudah jadi bubur’. Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Masih banyak bisnis besar di bank NTT yang harus dikelola secara professional oleh orang yang punya kapasitas memadai. Untuk itu, direkomendasikan agar mereka (Aleks Riwu Kaho, red) yang terlibat dalam pembelian MTN agar saat ini dinon aktifkan sementara dari jabatannya, agar berkonsentrasi pada penyelesaian tunggakan MTN,” jelasnya.

Juru bicara Fraksi PKB itu mengungkapkan, bahwa pandangan umum Fraksi Partai PKB dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD NTT pada Senin (16/11) menegaskan adanya potensi kerugian Bank NTT dan indikasi pelanggaran hukum terkait pembelian MTN Rp 50 Milyar PT. SNP dan Kredit Macet PT. Budimas Pundinusa Rp 130 Milyar Bank NTT.

Menanggapi pandangan Fraksi PKB, lanjutnya, Aleks Riwu Kaho seusai RDP tersebut, justru melalui pemberitaan sejumlah media online mengatakan, bahwa pandangan Fraksi PKB tidak benar alias keliru. Aleks Riwu Kaho sebaliknya mengatakan, bahwa masalah pembelian MTN Rp 50 Milyar tersebut sudah selesai dan sedang ditanganai kurator. “Kurator mau sita aset yang mana pak?” tantang Rumat.

Menurut Fraksi PKB, lanjut Rumat, agunan yang dimiliki PT. SNP sebagaimana dimaksudkan Aleks Riwu Kaho tersebut, akan disita oleh kurator untuk menutup kredit macet PT. SNP pada  bank Mandiri sebesar Rp 1,4 Trilyun. Belum lagi pinjaman pada 13 bank Nasional yang lain sebesar Rp 2,2 Trilyun.

“Jaminan berupa asset underlying atau adet keuangan pada PT. BNI sebagai penjamin yakni Fidusia Piutang aktif dinilai abal-abal atau fiktif. Jaminan berupa fidusia  ini ada sejauh PT. SNP masih melaba atau untung, jika ia (PT.SNP, red) sudah pailit  apa yang mau disita?” tantangnya lagi.

Rumat menegaskan, “Agunan Fidusia itu abstrak, beda dengan agunan fisik seperti yang di agunkan pada pinjaman Rp 1,4 Trilyun di bank Mandiri. Tunggakan ini sudah berlangsung 3 tahun, kapan curator itu bisa menyita agunan PT SNP pak Dirut (Aleks Riwu Kaho, red)?”

John Rumat pun membeberkan kurang lebih ada 7 (tujuh) pelanggaran materil yang dilakukan Divisi Treasury dan pejabat terkait dalam pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP.

Pertama, investasi pembelian MTN tersebut dilakukan tanpa didahului analisa kelayakan, due diligence atau uji tuntas.

Kedua, Hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank karena pada saat pembelian MTN PT Bank NTT belum memiliki pedoman terkait prosedur dan batas nilai pembelian MTN.

Ketiga, pembelian MTN tidak masuk dalam rencana bisnis PT Bank NTT tahun 2018

Keempat, selain itu PT. Bank NTT tidak melakukan On The Spot     untuk   mengetahui   alamat   kantor   dan   mengenal   lebih   jauh   atas pengurus/manajemen PT. SNP. Pertemuan dengan pengurus/manajemen PT. SNP baru terjadi setelah PT. SNP mengalami permasalahan gagal bayar.

Kelima, pembelian MTN tidak melalui telaah terhadap laporan keuangan audited PT. SNP Tahun 2017 namun hanya berpatokan peringkatan yang dilakukan oleh Pefindo tanpa mempertimbangkan catatan pada pers release Pefindo yang menyatakan bahwa peringkatan belum berdasarkan Laporan Keuangan audited PT. SNP Tahun 2017, sehingga mitigasi atas risiko pembelian MTN tidak dilakukan secara baik.

Keenam, PT Bank NTT telah melakukan konfirmasi kepada bank-bank yang telah membeli produk MTN sebelumnya, tetapi tidak melakukan konfirmasi kepada bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan menolak melakukan pembelian MTN.

Ketujuh, tidak mempertimbangkan kolektibilitas PT SNP pada SLIK OJK (SLIK= Sistim Laporan Informasi Keuangan atau checking pinjaman pada bank lain). (rjb/tim)