Rehabilitasi Lahan Kering Jadi Solusi Mitigasi Krisis Ekologi di NTT
PATROLICIA COM PROPINSI NTT Upaya pemulihan lingkungan dan ekosistem di Nusa Tenggara Timur terus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Salah satunya melalui program rehabilitasi lahan kering oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Benenain Noelmina. Kegiatan ini tidak hanya menargetkan penghijauan, tetapi juga memperkuat rantai makanan di kawasan konservasi Pulau Komodo. Atas kerja nyata tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia memberikan apresiasi secara langsung saat melakukan kunjungan kerja ke lokasi pada 25 Juli 2025.
Kepala BPDAS Benenain Noelmina, Kludolfus Tuames, SP., mengungkapkan bahwa kunjungan tersebut menjadi momen penting untuk memperlihatkan langsung hasil kerja jajaran di lapangan, khususnya di lokasi-lokasi yang dinilai strategis untuk restorasi ekologis. “Bapak Menteri ingin menyaksikan sendiri seperti apa kerja di lapangan. Salah satu lokasi yang dikunjungi adalah tempat yang kami siapkan untuk penanaman di musim kemarau,” ujarnya.
Kludolfus menambahkan, jenis tanaman yang dipilih sangat disesuaikan dengan kondisi geografis dan iklim setempat. Salah satu tanaman yang digunakan adalah berondong, yang memiliki ketahanan tinggi terhadap kekeringan. “Tanaman ini justru tumbuh optimal saat musim kemarau. Kalau ditanam di musim hujan, dia justru akan membusuk. Jadi ini solusi nyata untuk wilayah yang sulit air,” jelasnya.
Menjawab Tantangan Ekologis di Kawasan Konservasi
Menurut Kludolfus, rehabilitasi lahan yang dilakukan bukan hanya untuk penghijauan, tetapi juga menyasar perbaikan rantai makanan di kawasan konservasi. Ia menyoroti pentingnya keberadaan vegetasi alami yang dapat menarik kembali satwa liar seperti rusa dan monyet—dua jenis hewan yang menjadi makanan utama Komodo.
“Kalau habitatnya diperbaiki, udara dan vegetasinya membaik, maka secara alami akan menarik kembali satwa yang sebelumnya menjauh. Ketika rantai makanan terbentuk, maka populasi Komodo juga bisa lebih stabil dan sehat,” ungkapnya.
Langkah ini juga disebut sebagai bagian dari mitigasi jangka panjang terhadap dampak krisis iklim yang kian nyata di kawasan timur Indonesia. “Rehabilitasi ini bukan semata penghijauan. Ini investasi ekosistem. Suatu saat, kawasan ini bisa menjadi tempat persinggahan satwa liar, memperkuat rantai ekologis yang sehat,” tambah Kludolfus.
Menteri Dorong Model Nasional Restorasi Lokal
Kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke lokasi tersebut disambut dengan pemaparan hasil kerja dan tayangan dokumentasi proses rehabilitasi oleh tim BPDAS. Menteri disebut memberikan respon positif dan mendorong agar praktik serupa dijadikan contoh untuk daerah-daerah konservasi lainnya.
“Tanggapan beliau sangat baik. Kami mendapat apresiasi dan bahkan arahan agar model pendekatan berbasis karakter lokal seperti ini bisa menjadi inspirasi untuk target restorasi nasional, khususnya di kawasan sensitif seperti Pulau Komodo,” kata Kludolfus.
Pulau Komodo, yang menjadi habitat satu-satunya Komodo di dunia, terus menghadapi tekanan akibat kerusakan ekosistem dan perubahan iklim. Oleh karena itu, program restorasi berbasis vegetasi tahan kekeringan dan berfungsi ekologis menjadi sangat relevan.
“Kita ingin tidak hanya menyelamatkan Komodo, tapi juga memulihkan ekosistem pendukungnya. Semua makhluk hidup punya insting untuk mencari tempat terbaik berkembang biak, dan kita ingin menciptakan tempat itu,” pungkas Kludolfus. (Rjb)
 
			