Patroli ia.com/provinsi NTT. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT untuk membatalkan investasi ‘Abu-Abu’ senilai Rp 492 M melalui Mega Proyek budidaya ikan kerapu/kakap, jagung, ternak dan porang.
Permintaan pembatalan tersebut disampaikan oleh anggota DPRD NTT, Viktor Mado Waton, Johanes Rumat, dan Hugo Rehi Kalembu saat dimintai tanggapannya secara terpisah pekan ini terkait investasi ‘Abu-Abu’ dari Pinjaman dana PEN senilai Rp 492 M yang dikenakan bunga 6,19 persen per tahun (selama 8 tahun, red).
Dimintai tanggapan pribadinya, Viktor mengatakan program investasi tersebut tidak rencanakan dengan baik. “Kalau saya secara pribadi, kegiatan investasi ini harus ditolak DPRD NTT karena tidak jelas pola pengelolaannya,” tandasnya.
Viktor mempertanyakan pola pengelolaan investasi yang disebutnya tidak jelas. “Yang disebut pihak ketiga (Obsteker, red) itu siapa? Pemberdayaan masyarakat seperti apa? Bagaimana skema atau perhitungan keuntungannya? Bagaimana skenario pengembalian? Semua tidak jelas,” tandas Mado Watun.
Hal senada juga dikatakan Johannes Rumat (Fraksi PKB, Dapil Manggarai Raya) yang dimintai tanggapannya secara terpisah, Kamis (20/5/21). Ia menilai program investasi tersebut sebagai program ‘Abu-Abu’ alias tidak jelas. “Ini namanya program investasi ‘Abu-Abu’ karena tidak jelas pola pengelolaan dan skenario pengembalian dananya. Kog Pemprov yang berhutang tapi yang mengelola program dan dapat untung adalah pihak ketiga (Obsteker, red). Pemerintah hanya pungut retribusi. Ini tidak benar,” kritiknya.
Kegiatan uji coba yang dilaksanakan, lanjut Rumat belum memberikan hasil. “Hasilnya tidak jelas. Bahkan bisa dikatakan gagal total. Budidaya ikan kerapu sekitar Rp 6,4 M di Waekulambu sejak 2019 belum dipanen hingga saat ini. Budidaya di Pulau Semau Rp 7,5 M juga belum dipanen hingga saat ini,” bebernya.
Kegagalan serupa, lanjutnya, juga terjadi kegiatan Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS) tahun 2020 dengan anggaran Rp 25 M. “Dari target 10 ribu Ha, yang ditanam hanya sekitar 1.300 Ha karena memang hanya begitu luas lahan irigasi di NTT. Hasil panennya juga tidak jelas. Kami dapat informasi bahwa yang ditanam 100 Ha di Bena, hanya dipanen 2 Are,” ungkap Rumat.
Kondisi yang hampir sama, lanjutnya, juga terjadi pada kegiatan budidaya Porang di hutan jati milik kehutanan di Kabupaten Belu. “Kami dapat informasi, setelah porang ditanam, dibiarkan begitu saja tanpa perawatan. Itu juga belum ada hasil panennya. Belum ada hasilnya kok mengapa mau dikembangkan besar-besaran?” kritik Rumat.
Rumat mempertanyakan kepentingan dibalik pelaksanaan investasi ‘Abu-Abu’ melalui Mega Proyek budidaya ikan kerapu/kakap, jagung, dan Porang. “Kepentingan siapa yang diperjuangkan dalam Mega proyek hampir Rp 500 M ini?” ujarnya menyelidik.
Politisi PKB ini sangat meragukan keberhasilan proyek “Abu-Abu’ tersebut. “Kalau program uji coba saja gagal, bagaimana kita mengharapkan pelaksanaan kegiatan itu secara besar-besaran bisa berhasil?” paparnya.
Kalau mega proyek gagal, tanya Rumat, darimana pemerintah dapat uang untuk bayar kembali pokok dan bunga yang begitu besar? “Karena itu, sebaiknya program ini dibatalkan karena yang dapat untung adalah pengusaha sebagai pihak ketiga tapi akan menjadi beban untuk pemerintah dan rakyat NTT selama 10 tahun,” tegas Rumat.
Pernyataan senada juga dikemukaan oleh Ketua Komisi III DPRD NTT, Hugo Rehi Kalembu (Fraksi Partai Golkar dari Dapil Sumba). Menurutnya, Fraksi Golkar sudah memberikan saran sejak awal agar APBD NTT TA 2021 disusun dengan 2 skenario, yakni dengan pinjaman dan tanpa pinjaman.
“Saat pembahasan APBD tidak ada bunga tapi sekarang ada bunga dari pinjaman Rp 1,5 Trilyun. Dari awal, Fraksi Golkar sudah usulkan untuk agar APBD 2021 disusun dengan 2 skenario, yakni dengan pinjaman dan tanpa pinjaman Rp 1,5 T,” jelasnya.
Hugo memaparkan, Komisi III telah menyarankan agar sebelum kegiatan dilakukan secara besar-besaran perlu ada proyek pencontohan (pilot project) sebagai acuan atau uji coba budidaya. “Dengan kegiatan uji coba itu akan menjai acuan bagi pemerintah dan DPRD utuk dapat menilai apakah program investasi tersebut dapat berhasil dan dapat dilaksanakan secara besar-besaran atau tidak,” jelasnya.
Ia mengakui, telah ada program uji coba yang dilakukan Pemprov NTT seperti uji coba ikan kerapu dan kakap tapi hingga saat ini belum pernah dipanen padahal sudah berjalan 3 tahun anggaran. “Program kerapu sudah jalan tapi h asilnya belum ada. Kegiatan tahun 2019 saja belum panen hingga saat ini,” ujar Kalembu.
Kalembu menjelaskan, program-program uji coba yang dilaksanakan Pemprov NTT seharusnya menjadi simulasi bagi OPD dan semua pihak terkait untuk belajar mengelola program tersebut. “Kemudian dievaluasi hasilnya, apakah kegiatan itu berjalan baik atau tidak? Kalau baik kita laksanakan, tapi kalau tidak jangan dipaksakan dulu. Ditunda dulu di tahun berikut sambil dievaluasi kegiatan uji coba dan persiapkan masyarakat sasaran,” papar politisi senior yang sudah ‘banyak makan asam-garam’ ini.
Hugo Kalembu mewanti-wanti Pemprov NTT untuk tidak perlu terburu-buru untuk melaksanakan program investasi senilai Rp 491 M tersebut karena kegiatan uji coba belum menunjukkan hasil sama sekali. “Kita harus lebih bijaksana. Kalau program percontohannya saja gagal, mengapa mesti budidaya secara besar-besaran?” ujarnya.
Sebab, lanjut Kalembu, siapa yang bertanggung jawab kalau kegiatan itu gagal? “Pemerintah harus berhati-hati karena itu uang rakyat. Karena kegiatan ini sudah ditetapkan dalam APBD TA 2021 maka Saya menyarankan agar program ini ditunda. Jangan dilaksanakan tahun ini dulu, supaya kita lihat hasil kegiatan uji cobanya,” sarannya. (…../tim)